Membawa Sikap, Untuk Tidak Salah Mengartikan Artikel Segar Mojok Berjudul : Sudah Tajir Kok Cari Beasiswa Bidikmisi, Kemaruk Amat Kayak Fir’aun
Sebuah pertanyaan yang akan membuat resah hati penerima Bidikmisi
sebenarnya tidak bersumber dari artikel Mojok yang berjudul “Sudah Tajir Kok Cari Beasiswa Bidikmisi,
Kemaruk Amat Kayak Fir’aun”. Artikel ini justru adalah ekspresi militan salah
seorang penerima Bidikmisi yang amat peduli dengan kemurnian beasiswanya, yakni
Bidikmisi. Dan artikel ini harus kita apresiasi.
Tapi yang membuat salah, justru persepsi pembacanya yang bisa menjurus
pada sebuah anggapan bahwa Bidikmisi cenderung tidak menampung mahasiswa yang
kurang mampu, tidak lagi murni dengan hadirnya pelanggaran-pelanggaran di atas,
tidak transparan dalam penerimaan, sehingga ada yang terindikasi kaya, dan mungkin
dalam jumlah banyak, mendapatkan justifikasi, sehingga menimbulkan rasa
kecemburuan di eksternal Bidikmisi itu sendiri.
Apa sebenarnya yang terjadi ? Secara perlahan kami akan mencoba
mendedahkan duduk persoalannya, karena kasus ini tidak sesederhana seperti yang
di persepsikan.
Pertama-tama, untuk tidak membantah. Memang sistem penerimaan Bidikmisi
di semua kampus masih rawan pemalsuaan. Bisa bocor. Tapi sejauh ini. Mayoritas
penerima Bidikmisi adalah orang yang berhak. Maksud mayoritas di sini bukan
sebatas prosentase 50% +1 saja, melainkan di atas angka 95% persen, dengan sisanya
prakiraan sekitar 5%, bisa kita katagorikan sebagai penerima bias, yang bisa di
cemburui oleh mahasiswa reguler non Bidikmisi. Namun, bukan berarti yang 5% ini
tidak layak menerima Bidikmisi. Karena legal standing, proses pendaftaran
hingga verifikasi berlangsung tidak semata dari kampus saja, melainkan
melibatkan pihak sekolah asal, bahkan hingga penyelenggara pemerintahan desa
yang mengeluarkan Surat Keterangan Tidak Mampu bagi warganya. Jadi apabila ada
konteks pemalsuan data soal standart miskin, orang kaya mendapatkan Bidikmisi.
Jelasnya, ini adalah proyek yang amat kita renungi, karena jelas ada proses
yang salah di sekolahan sehingga keluar kartu Bidikmisi, atau di pihak
Desa/Kelurahan karena keluar surat sakti SKTM itu sendiri.
Lantas mungkin akan ada yang bertanya : Kenapa tidak di survey satu
persatu saja ? Memang benar, bahwa tidak semua calon penerima Bidikmisi di
survey. Ada alasan kenapa tidak di survey, salah satunya ialah karena tim kemahasiswaan
terbatas. Mereka juga bukan bekerja khusus untuk Bidikmisi. Kalau anda tahu, hajatan
penerimaan dan verifikasi data mahasiswa Bidikmisi bukanlah hal kecil. Di
kampus kami dulu, penyelenggaraan seleksi ini, melibatkan kepanitiaan mahasiswa
yang terdiri dari lebih dari formasi 50 orang yang mendampingi sekitar 10 orang
staf penuh yang dimiliki Kemahasiswaan. Dan mahasiswa itu di kerahkan untuk
pula mengawasi para calon penerima, kedatangannya di antar dengan mobil atau
jalan kaki dari kos-kosan. Sistem intelegen yang rahasia juga di lakukan. Dan
sumber daya yang lebih besar, waktu yang lebih lama jelas bukan menjadi pilihan
utama, kalau harus di adakan survey satu persatu bagi calon penerimanya. Jadi,
survey biasanya di lakukan pada kawan-kawan yang di curigai saja, di tambah
kelompok acak untuk membuktikan bahwa tidak ada pemalsuan data. Dan jelasnya,
banyak perguruan tinggi akan meyakini Kartu Indonesia Pintar atau Kartu Indonesia
Sejahtera, sebagai kartu yang telah terverifikasi dan menjadi monument sakral
bahwa pemiliknya, pasti adalah kelompok keluarga miskin/tidak mampu.
Maka secara serius, sebenarnya kerja besar ini tak boleh sembarangan di cela menurut pandangan kami, jika memang tidak pernah tahu seberapa tingkat kompleksitasnya.
Di samping uraian di atas. Ada dinding aturan pula yang tidak bisa
main tabrak saja ada kebijakan yang harus di tempuh. Misalnya, salah satu clue
mendasar dari akar persoalan ini ialah kitidaksiapan kita untuk mendefinisikan
miskin versi Bidikmisi. Bukan miskin versi kita masing-masing.
Jika anda membaca persyaratan Bidikmisi tahun 2018, anda akan merasa
terkejut misalnya, persyaratan maksimal pendapatan kotor orang tua adalah
4.000.000. Angka ini tentunya akan di nilai amat besar untuk ukuran desa kami,
dan mungkin bisa di katagorikan level menengah. Tapi sesuai aturan, calon
mahasiswa yang penghasilan kotor orang tuanya sebesar itu boleh mendaftar
Bidikmisi, dan boleh di fasilitasi sekolah serta Desa untuk bisa mengakses
Bidikmisi.
Belum lagi, kalau sudah berbicara penerimaan di dalam kampus. Ada
sistem kuota wajib bagi mahasiswa miskin. Bahkan ketentuannya di payungi oleh Peraturan
Pemerintah (PP) No 66 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan. Dalam PP ini terdapat pasal yang mewajibkan semua perguruan tinggi
negeri (PTN) menerima 20 persen mahasiswa miskin dari total mahasiswa yang
diterimanya. Dari mana lagi kuota ini akan di isi kecuali di serap melalui
Bidikmisi. Apakah ada kemampuan bagi perguruan tinggi untuk membiayainya
sendiri ?
Jelasnya, ketaatan kampus untuk memenuhi prasyarat minimal menampung
20% mahasiswa miskin sesuai amanat PP ini akan menghambat proses purifikasi
penerima Bidikmisi tanpa bias prasangka dari teman-teman reguler. Hal ini, juga
akan di perparah dengan adanya instruksi atau kesepakatan kampus dengan Dikti
untuk menyerap alokasi Bidikmisi yang telah di tetapkan dalam pembagian kuota.
Mungkin beasiswa Bidikmisi yang tidak terserap bisa di kembalikan ke Dikti,
tapi setelah kembali ke Dikti mau di kemanakan. Sistem birokrasi kita justru akan
menambah kerugian, karena kalau kuota tidak habis. Amat mungkin tahun depan,
DPR justru akan memangkas kuota Bidikmisi dan tidak menambahnya lagi. Dan
inilah yang menyebabkan celah besar, terkadang di dalam upaya untuk mewujudkan
Bidikmisi tepat sasaran dalam koridor idealisme, koridor tanpa bias.
Gambaran real, kasusnya salah satunya begini. Di hampir kampus besar
di Indonesia, anda pasti tahu demografi mahasiswa yang ada di dalamnya. Saya
contohkan saja di SMA Favorit di Kota anda. Di tempat itu, kemungkinan siswa
miskin yang miskin beneran, di sekolah itu, apakah sampai 20% ? Angka itu
muskil di capai kecuali dengan menetapkan standart miskin yang lebih tinggi di
banding sekolah biasa di level yang sama, yang demografi penerima dalam
katagori miskinnya jauh di atas 20% misalnya. Persoalan serupa, juga di alami
kampus-kampus besar. Yang di maksud miskin dalam persepsi kampus besar, jangan
kemudian di standarnya dengan standart miskin versi kampung kita masing-masing.
Karena ini bisa jadi ini akan membuat kita keliru menelaah. Di sinilah kunci,
bahwa kecemburuan di luar terjadi karena ada faktor yang tidak tunggal. Kampus
menetapkan standart kaya miskin, berdasarkan realitas masing-masing kampus, dan
berdasarkan aturan-aturan yang menaunginya, yang tentu juga memaksanya.
Tapi, justifikasi ini bukan menandakan kami sepaham dan sejalan dengan
sistem yang ada, yang masih memberikan ruang bias. Kami hanya ingin membukakan
fakta yang ada. Setidaknya anda harus tahu, dari mana kebijakan itu dihadirkan
hingga menghasilkan output seperti yang di persepsikan sekarang.
Lalu, memang kemudian akan hadir pertanyaan. Kalau orang setengah kaya
bisa masuk Bidikmisi. Itu berarti saya makin cemburu dong. Orang tua saya hanya
bisa memberi uang saku satu semester tak jauh lebih besar dari penerima
Bidikmisi, dan kami juga di beratkan dengan UKT yang tidak murah. Ada
ketidakadilan di sini ?
Rasa cemburu semacam itu bisa muncul dan tidak bisa di elakkan kalau
penerima Bidikmisi tidak mawas diri. Tampil hedon, keluar masuk KFC, Mall dan
style yang mewah. Tentu ini tidak baik. Walaupun bisa jadi penerima Bidikmisi
mungkin punya sambilan lain, sehingga mereka bisa mengakses kemewahan itu.
Sebuah kasus, suatu ketika. Kami pernah di temui langsung oleh
penerima Bidikmisi yang di semester 4 an punya usaha dan bisa membiayai
kuliahnya sendiri sebenarnya tanpa Beasiswa. Tapi kala itu kami berpendapat
untuk tidak mencabut sratusnya sebagai penerima Bidikmisi walau dia meminta.
Kami kala itu berkeyakinan, kalau dia penerima Bidikmisi dan sukses atas
usahanya seiring berjalannya waktu. Maka nominal beasiswa itu adalah apresiasi
dari kami untuk memotivasinya, dan terserah dia gunakan besarnya beasiswa itu
untuk kebaikan sosial yang ia putuskan sendiri.
Jadi, sebenarnya masih banyak pekerjaan rumah bagi Bidikmisi. Kita
harus mendorong terus tersebarnya informasi Bidikmisi ke calon penerima yang
tidak mampu tapi berprestasi. Menemukan mereka ini tidak mudah, tidak banyak
dan membutuhkan usaha yang kontinu.
Kami menulis pembelaan ini untuk meluruskan bias, bahwa penerimaan
Bidikmisi justru semakin membaik. Walau kami tidak menampilkannya dalam artikel
ini. Tabik.
Post a Comment