Kisah Aula, Anak Pedagang Sayur di Aceh, Peraih Beasiswa S2 di Amerika
Hidup di tengah keterbatasan ekonomi bukanlah sebuah penghalang bagi
Aula Andika Fikrullah Al Balad dalam meraih pendidikan dan cita-citanya.
Terlahir dari orang tua yang sehari-harinya berdagang sayur di Gampong
Lampasi, Darul Imarah, Aceh Besar untuk memenuhi kebutuhan hidup, Aula,
begitu ia kerap disapa, berhasil meraih beasiswa S2 untuk kuliah di
Lehigh University, di Bethlehem, Pennsylvania, yang masuk ke dalam
daftar 50 besar universitas terbaik di Amerika Serikat.
Seperti kisah hidupnya, Aula mengatakan, “it’s not about perfect. It’s all about effort.” Tak perlu harus melulu sempurna, namun segala cita-cita bisa diraih dengan berusaha.
Kisah Perjuangan Si Bungsu di Lampasi
“Semenjak menikah dengan almarhum ayah, (ibu) itu sudah jualan sayur,” papar Aula kepada VOA Indonesia belum lama ini.
Kalau dulu biasa berjualan dari pintu ke pintu, sejak tahun 2000,
Aula dan keluarga membangun kios kecil yang beratapkan rumbia di depan
rumah mereka, sehingga kini sang Ibu, Siti Narimah atau biasa disapa Mak
Cut, tidak perlu lagi berkeliling kampung.
“Mungkin, sekitaran 60an,” ujar Aula saat ditanya mengenai usia Mak-nya.
Tak ada yang tahu persis usia Mak.
“Karena ibu-ibu yang lain di sekitaran rumah sekitaran 70an umurnya dan ibuku paling muda diantara mereka semua,” jelasnya.
Kejadian tragis menimpa keluarga Aula pada tahun 2004 ketika sang
ayah, almarhum Ridhwan Kr Is, ditemukan dalam kondisi sudah tidak
bernyawa lagi di dekat sebuah sawah. Almarhum telah menjadi korban saat
terjadi konflik di Aceh. Pada waktu itu Aula masih kelas lima di bangku
sekolah dasar. Dua orang kakaknya juga meninggal pada tahun yang sama,
satu karena sakit dan satu lagi menjadi korban tsunami.
Perjuangan baru pun dimulai oleh Mak Cut yang seketika menjadi orang
tua tunggal yang harus memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan
anak-anak. Membantu orang tua berdagang sayur memang sudah menjadi
ritual Aula dan kakak-kakaknya sejak masih duduk di bangku sekolah.
“Saya SMP itu ingat. Jadi saya sekolahnya jam dua siang. Jadi pagi
itu ngantar dulu ibu ke pasar untuk belanja sayur, terus jemput lagi
ibu. Ibu ke pasar gitu, kemudian setelah semuanya beres, jam dua siang
saya baru berangkat ke sekolah,” ujar si bungsu dari tujuh bersaudara
ini.
Tidak Boleh Bantu Cari Uang, Pendidikan Nomor Satu
Namun, pendidikan selalu menjadi nomor satu dalam keluarga Aula,
walaupun almarhum ayah hanya menempuh pendidikan tingkat sekolah dasar
di sekolah rakyat, dan ibu tidak pernah sekolah, bahkan tidak bisa
membaca dan menulis.
“Saya masih ingat, ketika SD dulu, kakak-kakak pernah cerita, bahkan
harus sekolah tanpa ada uang jajan. Bahkan kita sakit pun, sakit dalam
kondisi sakit demam dan sebagainya itu nggak boleh libur. Tetap harus
berangkat ke sekolah,” cerita pria kelahiran November 1993 ini.
Dengan keuntungan penghasilan sekitar sepuluh hingga dua puluh ribu
per hari dari berdagang sayur, orang tua Aula tidak pernah
memperbolehkan anak-anaknya membantu mencari uang.
“(Almarhum ayah) akan marah. Apalagi kita harus libur sekolah gitu.
Jadi memang pendidikan tetap yang utama di keluarga kita,” kata Aula.
Tentu saja dalam bersekolah untuk meraih pendidikan harus dilalui
dengan berbagai perjuangan. Itulah yang Aula rasakan di setiap jenjang
sekolah.
“Bisa nggak sih sekolah?” Hal itu selalu menjadi pertanyaan setiap
tahunnya. Aula beruntung orang tuanya, termasuk kakak-kakaknya selalu
ikut membantu dan berjuang bersamanya.
“Ketika SMP, kakak harus jual apa gitu (perhiasan), supaya bisa saya masuk sekolah,” katanya.
Hal ini kembali terjadi ketika masuk ke jenjang SMA, kakak Aula juga
menjual barang untuk membantu sang adik membayar uang sekolah.
Semangat Meraih Segudang Prestasi
Keterbatasan ekonomi di keluarga tidak pernah membuat Aula berkecil
hati dan patah semangat. Alhasil, segudang prestasi di dunia akademik
selalu diraihnya. Mulai dari juara pidato, cerdas cermat, olimpiade
fisika dan matematika, public speaking, hingga MTQ (Majelis Tilawatil Qur’an).
Tahun 2010 saat duduk di bangku SMA, Aula meraih sederetan
penghargaan di ajang Festival Film Anak Aceh yang diselenggarakan oleh
dinas sosial dan didukung oleh UNICEF Indonesia, atas hasil karya
filmnya yang berjudul “Masihkah Punya Harapan?”
Film pendek berdurasi sekitar 15 menit yang ia garap hanya dalam satu
bulan ini bercerita tentang seorang anak yang berasal dari keluarga
kaya namun tidak diizinkan untuk bersekolah. Anak ini lalu kabur dari
rumah, rela mengemis dan menyemir sepatu demi bisa mengenyam pendidikan.
Film ini memang terinspirasi dengan kehidupannya sendiri, namun dengan
sedikit ‘plot twist’ atau perubahan cerita di dalamnya.
“Alhamdulilah, kita dapat penghargaan film terbaik sama sutradara
terbaik, aktor terbaik, aktor itu saya langsung juga, jadi sutradara
merangkap sebagai aktor,” kenangnya sambil tertawa.
“Kemudian kita menang nominasi sebagai editor terbaik dan untuk
penata artistik kita hanya masuk nominasi saja. Kita nggak menang,”
tambahnya.
Terpaksa Tolak Undangan Masuk Perguruan Tinggi Negeri
Kabar yang seharusnya menjadi kebanggaan dan kegembiraan keluarga
ternyata membuahkan kebingungan saat tamat SMA. Aula berhasil mendapat
undangan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri mana pun di Indonesia
dari program Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Jadi itu ditujukan kepada 10 besar siswa-siswa berprestasi dari tiap
sekolah untuk bisa masuk ke seluruh universitas negeri yang ada di
Indonesia,” jelasnya.
“Saya bingung, karena ini sudah dapat undangan, trus nanti yang bayar
uang sekolah siapa gitu ya? Akhirnya saya tidak terlalu antusias dengan
undangan itu. Padahal itu sesuatu yang sangat priviledge dan sangat
dinanti-nanti sebenarnya oleh setiap siswa gitu. Tapi saya nggak terima
itu,” tambahnya.
Tidak hanya itu, menurut Aula, masa tersebut adalah salah satu masa yang “paling sedih.”
“Karena ada omongan kemarin bahwa, ‘lu jangan harap deh bisa masuk
kuliah deh, Aula. Kalau lu nggak bisa sogok orang dan lu nggak punya
orang dalam,’” kenangnya.
“Seakan-akan dia mau ngomong bahwa, ‘oh, anak miskin itu nggak bisa sekolah. Anak miskin itu nggak bisa kuliah,” katanya.
Semangat untuk meraih pendidikan berhasil mengalahkan kesedihannya.
Aula lalu memutuskan untuk mengikuti SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri) biasa dan memilih universitas Syiah Kuala
dengan jurusan pendidikan fisika, sesuai dengan keinginannya. Ia pun
berhasil masuk.
“Di semester satu-lah baru dapat beasiswa Bidikmisi dan Alhamdulillah
sampai dengan tamat dengan beasiswa dari Bidikmisi itu,” paparnya.
Mak pun ikut gembira mendengarnya, apalagi melalui beasiswa S1 tersebut, Aula bisa membantu keuangan keluarga.
“Walaupun memang tidak besar, tapi minimal ada-lah, kita kasih ke ibu untuk beli sayur, untuk makan sehari-hari,” ceritanya.
Saat kuliah pun, Aula berhasil meraih berbagai prestasi, seperti
menjadi Raja Baca Provinsi Aceh, Duta Damai Provinsi Aceh, Duta Bahasa,
juga menjadi perwakilan Indonesia dalam kegiatan Nusantara Leadership
Camp.
Wisuda S1: Titik Terendah Dalam Hidup
Wisuda kuliah yang biasanya menjadi kebanggaan dan penuh canda tawa, ternyata menjadi titik terendah dalam hidup Aula.
“Pengin banget lihat si bungsu ini wisuda, “ ujar Aula saat menceritakan kata-kata almarhum ayah kepada salah seorang kakak Aula.
“Dan saya pengin banget memang ketika wisuda, ketika diumumkan Aula
Andika sebagai mahasiswa berprestasi itu, saya pengen orang tua
kedua-duanya bisa hadir gitu. Itu titik terendah saya,” tutur Aula.
Aula pun tak kuasa menahan tangisnya pada hari wisuda yang jatuh pada bulan November 2016 itu.
“Terus untuk apa sertifikat ini? Terus untuk apa kalau orang yang
selama ini lu inginkan hadir itu nggak bisa hadir di sini?” ujarnya.
Berkat motivasi orang tua, Aula berhasil bangkit dari kekelamannya
dan mengucap syukur, karena telah berhasil memenuhi impian orang tuanya.
Kelulusannya telah membuktikan bahwa di tengah keterbatasan, ia tetap
mampu meraih pendidikan tinggi.
Usai lulus, Aula mulai bekerja freelance sebagai blogger untuk
dunia gaya hidup dan juga menekuni bidang media sosial. Ia juga memulai
terjun ke dunia pendidikan dengan mengajar Al-Qur’an dan Kitab Kuning
di pesantren tradisional atau mengajar fisika, baik di kampus juga di
sekolah untuk olimpiade sains nasional tingkat Aceh.
53 Kali Gagal Tembus Beasiswa: “Apakah memang diriku tidak pantas untuk ke luar negeri atau apa?”
“Saya dari dulu tuh pengin banget ke luar negeri,” cerita Aula kepada VOA Indonesia.
“Tapi sudah (bulat), ‘Aula, ke luar negeri, naik pesawat, tapi enggak boleh dibayar sama diri sendiri,” kenang Aula.
Inilah yang membuatnya lalu dikenal sebagai ‘scholarship hunter’
alias pemburu beasiswa sejak kuliah. Lima puluh tiga kali sudah Aula
mendaftar beasiswa, tidak ada satu pun yang berhasil.
“Selama S1 saya coba berbagai beasiswa, short course, conference,
exchange program ke luar negeri selalu mendapat penolakan,” jelasnya.
Mimpi untuk menuntut ilmu ke Swedia, Portugal, Republik Ceko, Taiwan, dan negara lainnya pun kandas.
“Apakah memang diriku tidak pantas untuk ke luar negeri atau apa?” tambahnya.
Hingga akhirnya ia mendengar teman-temannya mendaftar beasiswa USAID
prestasi untuk program S2 di Amerika. Ia hanya bisa pasrah. Tidak
berminat lagi kuliah ke luar negeri.
“Coba sekali lagi,” ujarnya saat mengenang pesan Mak.
Menuruti Mak, Aula pun lalu mengisi formulir beasiswa ke-54 tanpa ada
keinginan dan tujuan untuk lolos. Baginya ambisi untuk lolos sudah
tidak ada lagi. Apalagi ketika pertama kali mendaftar tes TOEFL (Test of
English as a Foreign Language) sebagai persyaratan, Aula gagal mendapat
nilai yang ia inginkan.
“Saya pulang ke rumah, saya nangis di depan ibu,” ceritanya.
Mak pun kembali menyemangati si bungsu. “Ibu bilang, 'nanti daftar lagi,'” kata Aula.
Aula mengatakan kepada Mak bahwa dirinya tidak punya uang.
“'Mak, kasih uang,'” kata Aula yang mengingat kembali kata-kata Mak saat itu.
Aula mengerti keadaan Mak yang waktu itu tidak punya uang.
“Ya, jualan sayur mana banyak uang sih, palingan 20 ribu atau 10 ribu (rupiah) per hari untung,” katanya.
Semangat Mak kembali mendorongnya untuk ikut kembali mengambil tes
TOEFL. Memang sudah rezeki, karena waktu itu kebetulan ada seorang teman
yang meminta Aula untuk menerjemahkan sebuah jurnal dari bahasa Inggris
ke dalam bahasa Indonesia.
Aula mendapat bayaran 500 ribu rupiah yang pada waktu itu sama dengan
biaya tes TOEFL dengan media kertas. Aula pun berhasil mendapat nilai
yang diinginkan.
Menginjakkan Kaki di Amerika: “This is your time, Aula.”
“Allah Maha Baik, Allah tahu bahwa, ‘this is your time, Aula,’” ujar Aula.
Akhirnya Aula menginjakkan kakinya di Amerika pada bulan Juni tahun
2018 lalu. Ia berhasil terpilih menjadi satu diantara 23 orang Indonesia
yang mendapat beasiswa USAID prestasi untuk kuliah ke Amerika. Aula pun
diterima di Lehigh University di Bethlehem, Pennsylvania, yang masuk ke
dalam daftar 50 universitas nasional terbaik di Amerika menurut situs
U.S. News & World Report yang memuat berita, opini, dan juga ranking
universitas.
Jurusan Instructional Technology ia pilih karena menurutnya
penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran bisa menjadi lebih
menarik dan memotivasi baik siswa dan guru.
“Pemakaian teknologi dalam pembelajaran di Indonesia tuh belum
terlalu ekstrim sebagaimana yang telah digunakan oleh negara-negara maju
seperti Amerika, China, Korea, India dan lain sebagainya,” paparnya.
Tekadnya adalah untuk menjadi bagian dari orang-orang yang membangun teknologi tersebut di dunia pendidikan.
“Insya allah saya percaya dengan belajar di sini dengan involve di berbagai research activities
yang ada di lehigh dan di luar akan memperkaya dan menjadikan Indonesia
menjadi lebih baik dan bermanfaat insha allah pastinya untuk kita semua
nanti itu.”
Penghargaan Orang Tua Hebat 2019
Prestasi Aula yang membanggakan tidak pernah lepas dari motivasi dan
dukungan orang tua. Tak heran jika belum lama ini, tepatnya pada bulan
November 2019, orang tua Aula menjadi salah satu diantara orang tua lain
yang dianugerahi penghargaan ‘Orang Tua Hebat 2019’ oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Usia
Dini dan Pendidikan Masyarakat.
Mak Cut hadir di malam apresiasi tersebut untuk menerima penghargaan
yang ditanda-tangani langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Nadiem Makarim. Aula mengaku histeris ketika mengetahui orang tuanya
berhasil terpilih, sekaligus senang karena akhirnya Mak bisa berkunjung
ke Jakarta.
Ada tujuan tersendiri ketika Aula mendaftarkan orang tuanya untuk
menerima penghargaan ini. Salah satunya untuk memotivasi orang lain,
khususnya anak-anak muda Indonesia.
“Ketiadaan orang tua yang lengkap, kemudian orang tua yang tidak
berpendidikan, ekonomi yang tidak mendukung itu tidak menghalangi kita
untuk mencapai apa yang kita mau. Tidak menghalangi anak-anaknya untuk
bisa berpendidikan dan melanjutkan pendidikan sampai dengan ke level
yang tertinggi dan di luar negeri dan di negara yg paling adidaya di
dunia gitu,” tegasnya.
Berada di titik kehidupannya sekarang ini pun juga tak lepas dari nasihat orang tua yang ditanamkan dalam dirinya.
“Ibu selalu berpesan, ‘Aula boleh ke mana saja. Aula boleh tinggal di mana saja, tapi harus tetap menjadi Aula.’
Dalam artian bahwa jangan pernah tinggalkan salat, jangan pernah
tinggalkan mengaji, jangan pernah tinggalkan nilai-nilai dasar keislaman
yang memang itu selalu ditanamkan dalam keluarga,” katanya.
“Kalau almarhum Ayah berpesan dulu, ‘Aula tetap lakukan kebaikan
walaupun itu kecil dampaknya. Tapi jangan pernah berbuat sesuatu, tapi
tidak bermanfaat untuk orang lain,’” kenangnya.
Tak lupa Aula berterima kasih kepada Mak dan almahum ayah atas
didikan dan ajaran akan nilai-nilai kehidupan yang tak pernah ia
dapatkan di tempat lain.
“Seandainya nilai-nilai itu tidak diajarkan selama ini di dalam keluarga, tentu Aula tidak akan menjadi Aula yang se-strong ini, tidak akan menjadi Aula yang seperti sekarang ini,” ujarnya.
Kepada teman-teman, Aula kembali menekankan agar tidak menjadikan
keterbatasan sebagai penghalang dalam mencapai cita-cita, namun tetaplah
tertuju pada keunggalan yang dimiliki.
“Jadikan itu selalu sebagai pembakar atau sebagai minyak sehingga api semangat dalam hidup kita tuh selalu membara.”
Kembali lagi kepada moto hidupnya, “it’s not about perfect. It’s all about effort.” Tak perlu menjadi yang sempurna, namun segala cita-cita bisa diraih dengan berusaha.
Post a Comment